Beberapa hari lalu aku menghadiri doa Rosario di lingkungan. Setelah sesi doa selesai, ketua lingkungan memberikan sebuah kisah untuk renungan. Sederhana, tapi maknanya dalam sekali. Nah, supaya bukan aku aja yang dapet perenungannya, aku share di sini juga ya.
Kurang lebih ceritanya begini:
Seorang Ibu selalu memikul 2 guci untuk mengambil air di luar, lalu membawa airnya pulang ke rumah. Yang satu gucinya sempurna dan kondisinya bagus. Ketika sampai di rumah, air di dalamnya selalu penuh. Satu lagi gucinya sudah retak. Air selalu habis ketika sampai di rumah karena bocor sepanjang perjalanan.
Merasa tidak enak hati, guci yang retak ini meminta maaf kepada Ibu dan merasa dirinya tidak berguna. Ia merasa sia-sia karena tidak ada air yang dibawa sampai rumah. Ia sedih sekali.
Dengan tenang, sang Ibu mengatakan bahwa selama ini ia menaruh bibit di sepanjang jalan sekitar rumahnya. Sekarang, bunga-bunga itu sudah bermekaran dan membuat rumah mereka sangat indah.
Ini semua justru berkat guci yang retak. Guci tersebut secara tidak sadar telah menyirami bibit-bibit setiap hari. Karena "retak", air keluar dari guci sepanjang perjalanan dan menyirami bibit hingga mekar menjadi bunga yang cantik.
Kadang kita merasa harus jadi sempurna dulu, baru melayani Tuhan.
Cerita ini mengajak kita merenung bahwa sebetulnya kita tidak perlu menunggu menjadi sempurna untuk menjadi berkat bagi orang lain. Seperti guci yang retak, kita tetap bisa bermanfaat untuk orang lain meskipun ada ketidaksempurnaan.
Yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk dipakai oleh Tuhan. Kesediaan untuk menjadi berkat. Apapun kondisinya. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Sama halnya ketika terkadang kita merasa harus sempurna mengetahui semuanya tanpa celah, baru kemudian melakukan tindakan. Padahal, yang dibutuhkan adalah kesediaan dan kemauan diri untuk bertindak.
Setiap diri manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Inilah yang melengkapi hidup kita.
Semoga menjadi pencerahan~
Comments
Post a Comment